beautygreen in action

Mengenai Saya

Foto saya
Saya adalah mahasiswa Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University)

Sabtu, 15 Mei 2010

AGRIBISNIS (AGROINDUSTRI) SEBAGAI PENYOKONG UTAMA KETAHANAN PANGAN NASIONAL


DINI FITRIYANTI

“Mahasiswa Progran Tingkat Persiapan Bersama”

Bogor Agricultural University-http://www.ipb.ac.id”

Thomas Malthus (1798) pernah berkata bahwa jumlah manusia meningkat secara eksponensial (Nasoetion, 2009). Pernyataan Malthus tersebut terbukti dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dunia dari tahun ke tahun seperti yang tergambar dalam grafik di bawah ini (1950-2000).

Walaupun kenaikannya terlihat fluktuatif, namun hal ini secara tidak langsung dapat mengancam ketersediaan pangan dunia. Semakin bertambah jumlah penduduk semakin banyak pula bahan pangan yang harus disediakan. Apalagi bagi negara – negara padat penduduk seperti Indonesia. Tahun 1997 jumlah penduduk Indonesia mencapai 200 juta jiwa dan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai sekitar 220 juta jiwa. Suatu kenaikan yang signifikan.

Inilah yang menjadi penyebab persoalan ketahanan pangan di Indonesia. Pertama, penyediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan yang meningkat akibat pertambahan penduduk, perubahan komposisi penduduk atau pun akibat kenaikan pendapatan penduduk. Kedua, pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaan bahan pangan untuk mengantisipasi preferensi konsumen yang semakin peduli pada kesehatan dan kebugaran. Ketiga, masalah pendistribusian bahan – bahan pangan pada ruang dan waktu. Keempat adalah masalah keterjangkauan pangan. Masalah keempat ini merupakan masalah mendasar terutama bagi negara – negara berkembang yang mayoritas masyarakatnya miskin seperti Indonesia. Masalah kelaparan dan kekurangan gizi merajalela di mana – mana. Apalagi FAO telah memperkirakan bahwa pada periode tahun 1970-2010 pertumbuhan produksi pangan dunia akan mengalami penurunan (Saragih 2010)


Masalah pangan adalah masalah yang sangat serius untuk diatasi seiring dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia semakin hari semakin meningkat. Perhatikan tabel di bawah ini.



Tabel 1. Pola Konsumsi Pangan Penduduk Indonesia Tahun 1996, 1999, 2002, dan 2003

Kelompok pangan

Pola Pangan Harapan (PPH)

Capaian Skor PPH

Gram

Energi

%AKG

Skor PPH

1996

1999

2002

2003

1. Padi-padian

275

1.000

50,0

25,0

25,0

25,0

25,0

25,0

2. Umbi-umbian

100

120

6,0

2,5

1,6

1,6

1,6

1,7

3. Pangan Hewani

150

240

12,0

24,0

11,3

8,2

10,6

13,8

4. Minyak dan lemak

20

200

10,0

5,0

4,0

3,9

4,7

4,9

5. Buah/biji berminyak

10

60

3,0

1,0

1,2

0,9

1,0

1,0

6. Kacang-kacangan

35

100

5,0

10,0

5,6

4,8

5,6

6,2

7. Gula

30

100

6,0

2,5

2,3

2,1

2,2

2,5

8. Sayuran dan buah

250

120

3,0

30,0

18,9

16,0

17,5

22,5

9. Lain-lain

-

60

-

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

Skor PPH

-

2.000

-

100

69,9

62,6

68,4

77,6

Sumber Susenas BPS 1996, 1999, 2002, 2003 (Saragih, 2010)

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan? Undang – undang No.7/1996 tentang Pangan menyatakan bahwa “Ketahanan Pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangakau.” Pengertian ketahanan pangan lebih luas dari sekedar kemandirian pangan. Kemandirian pangan telah ditegaskan dalam peraturan perundangan, misalnya PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan dinyatakan, (1) pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari poduksi dalam negeri; (2) pengolahan sistem cadangan pangan ditentukan sendiri sesuai kepentingan nasional sehingga tidak tunduk pada tekanan negara lain (Saragih, 2010). Peraturan Pemerintah tersebut secara tidak langsung ingin mengkritisi kebijakan impor Indonesia untuk bahan – bahan pangan selama ini.

Pengembangan pangan lokal dapat menjadi solusi terbaik untuk memperkuat kedaulatan pangan Indonesia (Saragih, 2008). Sudah tentu, pertanianlah yang akan menjadi modal dasarnya. Perlu diadakan suatu usaha yang efektif dan efisien dalam prakteknya. Pendekatan agribisnis dalam penanganan komoditas unggulan daerah dapat dijadikan terobosan untuk menciptakan ketahanan pangan nasional (Wiganda, 2003). Hal ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, sektor pertanian menampung sebagian besar tenaga kerja (75%) dan mempunyai basis yang kuat di tingkat masyarakat bawah. Kedua, agribisnis dapat mengatur bagaiamana mengolah hasil pertanian sehingga bernilai tambah. Seperti contohnya tempe yang diproduksi LIPI Gunungkidul, Yogyakarta dalam kemasan kaleng. Harga tempe kemasan kaleng bisa mencapai tiga poundsterling atau senilai dengan 48 ribu rupiah per kaleng dengan bobot 250 gram (anonim, 2010) selain bernilai tambah juga ketersediaan gizi terpenuhi. Ketiga, jika faktor keunggulan saing dalam mekanisme pasar dipertimbangkan, maka komoditas yang dipandang masih dapat bersaing untuk menjadi komoditas unggulan adalah komoditas pertanian, dibandingkan komoditas non-pertanian. Banyak sekali komoditas pertanian berbasis agribisnis yang berkualitas tinggi. Seperti yang banyak dikembangkan oleh Badan Riset Unggulan Pengembangan Buah Nasional (Rusnas, 2008) dan Pusat Kajian Buah Tropika (LPPM, 2009). Buah – buahan yang dikembangkan di sana telah memenuhi kriteria preferensi masyarakat. Selain itu, dengan agribisnis kondisi pangan kita lebih terjamin karena ada aturan – aturan atau standar yang diberlakukan seperti masalah kekadaluarsaan (Arpah, 2003). Alasan – alasan inilah yang nampaknya menjadi jawaban atas empat persoalan pangan di atas. Namun, sistem agribisnis seperti apakah yang cocok diterapkan di negeri kita ini?

Sistem agribisnis adalah rangkaian kegiatan dari beberapa subsistem yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Setidaknya ada lima subsistem yang saling terkait tersebut. Kelima subsistem tersebut adalah subsistem faktor input pertanian (input factor subsystem), subsistem produksi pertanian (production subsystem), subsistem pengolahan hasil pertanian (processing subsystem), subsistem pemasaran (marketing subsystem), dan subsistem kelembagaan (supporting subsystem). Agribisnis pada umumnya merupakan suatu usaha yang menyelaraskan usaha pertanian di sektor hulu, budidaya dan hilir (agroindustri) sehingga mendapat suatu nilai tambah tertentu. Sistem agribisnis yang diterapkan di Indonesia pun pada hakikatnya tidak jauh dari pengembangan sektor – sektor tersebut. Namun, dalam praktiknya, sistem agribisnis di Indonesia memiliki banyak kendala dan hambatan mulai dari masalah prasarana seperti luasnya lahan sampai masalah iklim yang tak menentu akibat global warming. Global warming menyebabkan musim panas dan musim hujan kurang bisa diprediksi oleh para petani. Hal ini berdampak pada kualitas gabah petani menurun akibat terendam banjir, panen saat musim hujan, hama yang menjadi resisten, dan tentunya pada kualitas dan kuantitas pangan kita (Palestina, 2004).

Oleh karena itu, dalam hal ini selain petani, perlu adanya dukungan dari pelaku agribisnis lainnya yaitu peneliti dan pemerintah dalam perwujudan sistem agribisnis di Indonesia yang berimplikasi pada ketahanan pangan nasional. Sejauh ini pemerintah telah melakukan banyak usaha dalam mewujudkan kedaulatan pangan mulai dari pengembangan sistem agribisnis khususnya untuk pengadaan beras. Salah satu usaha tersebut dapat dilihat dari adanya program KKP (Kredit Ketahanan Pangan) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat dan di daerah – daerah potensial lain penghasil beras (Kurniawan, TF, Surono, A. Misbah, 2009). Komoditas padi yang para petani tanam dibiayai oleh pemerintah dengan syarat – syarat tertentu. Sejauh ini program tersebut berhasil menaikkan kuantitas padi nasional. Pada tabel berikut dapat dilihat perkembangan pertumbuhan padi di Indonesia sampai tahun 2009.

Tabel 2. Pertumbuhan Produksi Padi

Tahun

Luas Panen

(ha)

Produktivitas

(ton/ha)

Produksi

(ton)

Pertumbuhan

(%)

2002

11.521.166

4,47

51.489.694

2,04

2003

11.488.034

4,54

52.137.604

1,26

2004

11.922.974

4,54

54.088.468

3,74

2005

11.839.060

4,57

54.151.097

0,12

2006

11.786.430

4,62

54.454.937

0,56

2007

12.147.637

4,71

57.157.435

4,76

2008

12.343.617

4,88

60.279.897

5,46

2009

12.422.456

4,91

60.931.912

1,13

Sumber : Badan Pusat Statistik (Arifin, 2009)

Walaupun terlihat adanya kenaikan poduksi beras, kenyataannya hal tersebut belum bisa meningkatkan ketahanan pangan nasional akibat preferensi masyarakat Indonesia yang sama terhadap beras, bahan pangan yang paling banyak diminta di Indonesia. Ada semacam istilah tersendiri “kalau tidak makan nasi, ya belum makan”. Cara pandang yang sudah berkembang di masyarakat itu hendaknya dapat diubah, walaupun itu sulit. Mengapa harus diubah? Karena produksi bahan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika sedangkan pertumbuhan penduduk meningkat secara eksponensial. Mengingat hal itu, kita hendanya dapat mengubah pola pikir masyarakat yang terlalu ketergantungan pada beras. Padahal masih banyak bahan pangan lain pengganti beras yang kualitasnya tidak jauh berbeda dengan beras seperti umbi – umbian, singkong, sagu, jagung, dan sebagainya.


Usaha yang dilakukan pemerintah adalah dengan menaikkan harga beras. Pemerintah berharap dengan naiknya harga beras preferensi masyarakat terhadap beras dapat berubah seara perlahan – lahan. Maka dengan itu, pemerintah pun sedikit demi sedikit menaikkan harganya. Preferensi seperti inilah yang diharapkan sehingga pemerintah tidak perlu lagi mengimpor beras. Selain mempertahankan devisa negara, ketahanan pangan nasional dapat ditingkatkan.

Oleh karena itu, agribisnis tidak dapat berdiri sendiri. Harus ada kesadaran dari semua pihak untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Agribisnis telah memainkan perannya. Kapankah kita?

Daftar Pustaka

[anonim].2010.Tempe naik pangkat.www.agrina-online.com(terhubung berkala) http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=2447

(13 Mei 2010)

­­­­_______.2010.Keindahan versus keburukan Indonesia.www.valva.webege.com(terhubung berkala) http://valva.webege.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=352(8 Mei 2010)

Arpah, M, dkk.2003. National and international regulations regarding shelf life of food products.www.jurnal.ipb.ac.id(terhubung berkala) http://jurnal.ipb.ac.id/index.php/jtip/article/view/491(13 Mei 2010)

Bustanul, Arifin.2009.Bank pertanian untuk menjawab pembiayaan usaha pertanian?www.rks.ipb.ac.id(terhubung berkala) http://rks.ipb.ac.id/file_pdf/IPB-Deptan-Bank%20Pertanian%20untuk%20Pembiayaan%20Usaha%20Pertanian_INOEL.pdf(13 Mei 2010)

Kurniawan,TF, Surono, A. Misbah.2009.Gambaran pelaksanaan program kredit ketahanan pangan (KKP) di Kab. Karawang, Kab. Cirebon, dan Kab. Lampung Tengah.www.ppnsi.org(terhubung berkala) http://www.ppnsi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=47:gambaran-pelaksanaan-program-kredit-ketahanan-pangan-kkp-di-kab-karawang-kab-cirebon-dan-kab-&catid=33:sosial-kemasyarakatan&Itemid=46(13 Mei 2010)

[LPPM].2009.Strategi pembangunan industri pangan di Jawa Barat.www.lppm.ipb.ac.id(terhubung berkala) http://lppm.ipb.ac.id/lppmipb/penelitian/hasilcari.php?status=buka&id_haslit=664+HUB+s(13 Mei 2010)

Nasoetion, A.H.2009.Pengantar ke Ilmu – Ilmu Pertanian.Bogor:PT Pustaka Litera AntarNusa.

Palestina, 2004.Analisis masalah beras.www.student.ipb.ac.id(terhubung berkala) http://student.ipb.ac.id/~koran_kampus/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=54(13 Mei 2010)

[Rusnas].2008.Pengembangan buah – buahan unggulan Indonesia 2008.www.pkbt.ipb.ac.id.(terhubung berkala) http://pkbt.ipb.ac.id/pages/exsum/2008-exsum.pdf(13 Mei 2010)

Saragih, Bungaran.2010.Suara Agribisnis Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih.Jakarta:PT Permata Wacana Lestari.

_______.2010.Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian.Bogor:IPB Press.

Sumardjo.2009.Sistem agribisnis. Dalam:Pengantar ke Ilmu – Ilmu Pertanian.Prosiding.Bogor:IPB Press, hlm 61-66.

Wiganda, Shobar.2003.Agribisnis dan ketahanan pangan.els.bappenas.go.id(terhubung berkala) http://els.bappenas.go.id/upload/other/Agribisnis%20dan%20Ketahanan%20Pangan.htm(8 Mei 2010)

Cari Blog Ini

Pengikut

Arsip Blog